Dan sudah beberapa kali bu Maulida
memergoki tetangga barunya itu selalu menghitungi mangga-mangga itu ***
Rumah berdinding bilik itu tadinya
kosong tidak terawat. Kalau malam gelap gulita karena tidak diberi penerangan. Seorang
penyewa, perempuan tua berumur enam puluhan datang mengontrak disana bersama
cucunya yang baru kelas dua SD.
Bu Maulida mengenalnya. Namanya
Syamsiyah, nenek yang setiap hari berjualan mangga di pasar. Kata yang empunya
rumah, nek Syamsiyah boleh membayar berapa saja menyewa rumah tersebut asal
dirawat.
Nek Syamsiyah senang tinggal
bertetangga dengan bu Maulida karena bu Maulida guru agama cucunya di madrasah.
Kalau ada pelajaran cucunya yang ia tidak mengerti, tinggal tanya saja.
Bu Maulida juga senang. Terutama
karena rumah yang lama dibiarkan kosong oleh pemiliknya itu jadi terawat bersih
dan rapih. Tidak gelap menyeramkan dan menjadi sumber gosip orang-orang penakut.
Bahwa rumah tua itu sudah menjadi sarang hantu.
Sebelum rumahnya yang sekarang, nek
Syamsiyah ngontrak di belakang pasar. Nek Syamsiyah sebenarnya betah di sana
karena dekat dengan pasar tempatnya berjualan. Tetapi karena harga sewanya terus dinaikan ia terpaksa angkat kaki.
Bu Maulida maklum. Ia melihat
sendiri jualan mangga nek Syamsiyah memang tidak seberapa. Paling hanya
beberapa kilo. Mangga-mangga itu dijualnya secara ketengan supaya untungnya
lumayan. Kadang seribu, kadang juga seribu lima ratus perbuahnya.
“Yang penting nenek mah ada buat jajan si Sinta sama buat
biaya sekolahnya,” Kata nek Syamsiyah tidak muluk-muluk.
Kalau bu Maulida kebetulan sedang berbelanja
ke pasar mereka suka mengobrol. Terkadang bu Maulida sengaja menemui nek
Syamsiyah untuk memberitahukan perkembangan pelajaran cucunya.
Bu Maulida paham benar, tentu bukan
urusan gampang bagi seorang nenek mengurus masalah sekolah cucunya. Dirinya
sendiri yang seorang guru sering merasa kewalahan menghadapi kelakuan
anak-anaknya sendiri.
Suatu kali pernah bu Maulida
menanyakan tentang ibu bapaknya si Sinta. Dan jawabannya sungguh mengenaskan.
Ibunya si Sinta, yang adalah menantunya, lari dengan laki-laki lain. Ekonomi
yang menjadi persoalannya. Si Sinta yang masih umur tiga tahun ikut dengan
bapaknya.
Tetapi sang ayah yang rupanya merasa
sakit hati oleh perlakuan isterinya itu kemudian menjadi TKI ke Arab dengan
harapan bisa mendapatkan uang yang banyak.
“Lalu bapaknya si Sinta itu sering
ngirimin uang buat anaknya?” Tanya bu Maulida.
Yang ditanya menggeleng dengan mata
berlinang. Karena terlibat masalah bapaknya si Sinta itu kena razia polisi Arab
dan ditahan disana hingga sekarang.
Bu Maulida merasa terenyuh. Rasa
simpati itu kemudian membuat hubungan mereka jadi akrab. Kalau ketemu di pasar
nek Syamsiyah suka memberinya Mangga gratis. Lebih banyak ditolak oleh bu Maulida
karena dia tau benar kalau yang diberikannya itu merupakan keuntungan nek
Syamsiyah.
Tempat kedua yang membuat bu Maulida
sering bertemu dengan nek Syamsiyah adalah majlis taklim. Setiap hari minggu
ada pengajian ibu - ibu disana. Bu Maulidalah yang mengisi ceramahnya. Dan nek
Syamsiyah hampir tidak pernah absen selalu ikut terselip diantara para jamaah.
Nek Syamsiyah adalah jamaah yang
paling ‘cerewet’. Tiap kali ada kesempatan bertanya, tangannyalah yang selalu
teracung lebih dulu. Yang ditanyakannya selalu tidak jauh-jauh dari seputar
cara mendidik anak agar menjadi anak yang soleh atau soleha.
Bu Maulida mengerti sepertinya semua
itu ditujukan untuk cucunya. Jadi ia memberikan salah satu solusi yang praktis.
Jangan berikan makanan yang haram untuk anak kita. Karena selain membuat si
anak jadi bodoh, juga malas beribadah.
Nek Syamsiyah selalu duduk paling
belakang. Ia malu duduk di depan karena pakaiannya banyak tambalannya. Berbeda
dengan jamaah lainnya yang selalu berdandan mentereng.
Supaya tidak minder dan lebih
semangat bu Maulida lalu memberinya beberapa bajunya yang masih bagus. Bisa
dibayangkan apa yang terjadi setelah itu.
Hampir tiap sore nek Syamsiyah
datang ke rumah bu Maulida untuk membantu pekerjaan rumahnya.
Tertawa saja bu Maulida mengingat
itu. Mungkin orang kecil lebih tau membalas budi.
Yang jelas ia memang mengagumi
semangat nenek tua itu yang di usia senjanya tetap gigih mencari napkah dan
menuntut ilmu.
Nek Syamsiyah datang menyewa rumah
itu bertepatan dengan pohon Mangga Arumanis bu Maulida berbuah lebat. Sering bu
Maulida melihat cucu nek Syamsiyah itu bermain-main dibawahnya.
Anak itu sepertinya kurang asupan
giji yang baik. Badannya kurus. Tapi di
sekolahnya selalu rangking satu. Bu Maulida tidak tau metode belajarnya seperti
apa.
Mungkin suatu hari nanti ia perlu
mengetahuinya supaya bisa diterapkan untuk murid-muridnya yang lain.
Satu minggu sudah nek Syamsiyah menjadi
tetangga bu Maulida. Selama itu tidak tampak ada cela yang menggangu hubungan
bertetangga mereka. Yang terjadi setiap hari hanyalah sebuah rutinitas.
Pagi-pagi sehabis shalat Shubuh nek
Syamsiyah sudah tergopoh-gopoh membawa keranjangnya ke pasar. Jam tujuh ia
pulang dulu untuk mengurus sekolah SD cucunya. Setelah itu balik lagi ke pasar
hingga waktu dhuhur tiba.
Setiap hari selalu seperti itu.
Sampai kemudian bu Maulida memergoki kelakuan nek Syamsiyah yang menyebabkan
hatinya jadi kurang ‘sreg’.
Peristiwanya bakda Isya. Habis
membaca Qur’an, bu Maulida iseng menengok keluar melalui jendela. Mula-mula
hanya sepi dan gelap. Namun di antara kegelapan itu ia melihat seseorang
berdiri di bawah pohon mangganya. Atau lebih tepatnya di bawah dahan pohon
mangga yang menjulur ke halaman rumah nek Syamsiyah.
Karena cukup terang, jadi bu Maulida
segera tahu kalau sosok itu adalah nek Syamsiyah yang baru pulang dari mushola.
Dan yang dilakukan nenek tua yang masih mengenakan mukena itu adalah
menghitungi buah Mangga yang bergelantungan di atasnya.
Bu Maulida sempat berpikir untuk apa
tetangganya itu melakukan hal tersebut. Tapi karena nek Syamsiyah kerjaannya
adalah jualan mangga, ia segera paham. Mungkin nek Syamsiyah naksir akan
mangga-mangganya.
Waktu diceritakan kepada suaminya,
suaminya juga tertawa.
“Mungkin nek Syamsiyah mau ngeborong
mangga kita, Ma.”
“Seharusnya ia terang-terangan saja
ngomong sama kita. Jangan sembunyi-sembunyi seperti itu. Nggak pantes.” Bu
Maulida jadi agak ketus.
“Sama tetangga jangan seperti itu.
Ya, mungkin dia mau ngomong itu malu karena belum ada duitnya. Bisa aja kan?
Justeru seharusnya mamah yang harus duluan ngomong.”
Bu Maulida diam saja. Tapi batinnya
menimbang. Mungkin memang dirinya yang harus pro aktif menawarkan.
Pohon
mangga itu sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada yang menawar-nawar. Tapi bu
Maulida masih menahannya. Sebab terkadang kalau ada kerabatnya yang datang dari
luar kota, mangga-mangga ini bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.
Lagi
pula kesannya memang ‘kejam’ sekali. Tetangganya sendiri jualan mangga, ia
justeru malah menjualnya ke orang lain yang tidak dikenalnya.
“Baiklah,
mama kapan-kapan akan maen ke sana,” Kata bu Maulida.
Kata
kapan-kapan itu hampir terlupakan karena kesibukan bu Maulida sendiri sebagai
guru. Kalau pun ia masih teringat salah satu penyebabnya adalah nek Syamsiyah
sendiri.
Perempuan
itu makin rajin saja mengitungi buah-buah mangganya. Apalagi sekarang
Arumanisnya sudah mulai banyak yang matang. Sebelum hal tersebut dilakukan, nek
Syamsiyah biasanya akan celingukan dulu supaya tidak ada yang memergokinya.
Bu
Maulida jadi sebal. Apalagi menurutnya nenek tua itu sedikit jual mahal. Kalau
mereka kebetulan berpapasan atau mengobrol di pasar, nek Syamsiyah sekali pun
sama sekali tidak pernah menyinggung-nyinggung soal mangganya.
Apa
mungkin nek Syamsiyah sedang berpikir bahwa kelakuannya itu tidak ada yang
memergoki, Kata bu Maulida dalam hati. Atau jangan-jangan nenek tua itu sedang
punya rencana?
Suaminya
mengusulkan agar yang sudah masak itu lebih baik cepat-cepat dipetik saja
daripada nanti keduluan jatuh atau dimakan kelelawar.
“Mama
kirimin deh nek Syamsiyah. Sambil omong-omong. Siapa tau dia memang ada niatan
memborong mangga kita,” Suaminya setengah bercanda.
“Nanti
kalau ada waktu mama kesana,” Kata Bu Maulida. ***
Waktu
untuk berkunjung ke tetangga itu baru ada satu minggu kemudian. Sekitar jam
limaan bu Maulida akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah nek Syamsiyah.
Tidak lupa pesan suaminya untuk membagi beberapa mangganya dituruti.
“Assalamualaikum,” Bu Maulida mengucap salam.
“Wa’alaikum
salam,” Ada jawaban dari dalam rumah disusul daun pintu yang terbuat dari bilah
papan itu berderit terbuka.
Nek
Syamsiyah melongokan kepalanya. Ia agak terkejut waktu melihat yang ada di
hadapannya adalah bu Maulida. Buru-buru ia mempersilahkannya masuk.
Sehelai
tikar dihamparkan.
“Silahkan
duduk, bu. Maap, rumahnya acak-acakan.” Nek Syamsiah tampak sedikit
kemalu-maluan. Segelas air putih dihidangkannya. Si Sinta yang tadi terlihat
sedang membaca buku menggelendot di pangkuan nek Syamsiyah setelah terlebih
dulu disuruh menyalami gurunya.
“Sepertinya
hari ini emak nggak dagang, ya?” Bu Maulida membuka obrolan.
“Mangganya
lagi sulit, bu guru.”
“Tapi
kan sekarang lagi musimnya?”
Pertanyaan
itu menyebabkan nek Syamsiyah jadi sedikit bercerita soal seluk-beluk
dagangnya. Bahwa tidak otomatis karena sedang musimnya, lantas mangga jadi
mudah didapat olehnya.
Memang
mangga berlimpah. Tapi semuanya sudah diborong oleh pedagang besar untuk di
jual di kota. Biasanya nek Syamsiyah baru akan dilayani kalau ada mangga sisa
itu juga yang kualitasnya rendah.
Bu
Maulida iba juga mendengarnya. Tidak menyangka hanya jualan mangga sekedar
untuk sesuap nasi saja si nenek tua ini harus berhadapan dengan para raksasa. Lantas
ia angsurkan bungkusan plastik berisi mangga-mangganya.
“Ini
buat emak. Kebetulan Arumanis saya sudah pada matang.”
Ditunggunya
apakah nek syamsiyah akan mulai mengajukan tawaran. Tidak. Nek Syamsiyah
menerima pemberiannya dengan ucapan terima kasih tiada henti. Sama sekali tidak
ada pembicaraan soal pohon mangga bu Maulida.
Jadi
bu Maulida sendiri yang mengambil inisiatif.
“Emak
kan jualan mangga. Tertarik nggak sama mangga saya? Soal uangnya belakangan
juga nggak apa-apa. Daripada saya jual ke orang lain? Kan lebih baik sama emak.”
Mata
nek Syamsiyah berbinar. Sehingga bu Maulida menyimpulkan bahwa seperti inilah
rupanya yang dikehendaki oleh tetangganya. Harus dia yang menawarinya terlebih
dulu. Itu juga dengan cara utang.
Namun
rangkaian kalimat yang meluncur dari mulut nek Syamsiyah sungguh di luar dugaan
bu Maulida.
“Emak
emang seneng ngeliat pohon mangga bu guru. Besar-besar. Apalagi yang masuk ke
pekarangan rumah emak itu. Tiap malem emak hitungin terus. Yang nggak tau mah mungkin disangkanya emak mau
ngeborong mangga bu guru. Padahal emak punya duit dari mana.
“Emak
cuma takut mangga-mangga itu ada yang jatuh terus dimakan sama si Sinta.
Berarti cucu emak itu udah makan makanan yang haram karena pohon mangga itu kan
bukan punya emak. Padahal kata ibu sendiri di pengajian, daging yang tumbuh
dari makanan yang haram itu bisa membuat anak bodoh dan kalau ninggal nggak
akan masuk Surga. Saya takut si Sinta jadi seperti itu”.
Nek
Syamsiyah terkekeh sendiri. Tak ada pretensi apa-apa dibalik apa yang sudah
diungkapkannya tadi. Semacam rasa bangga atau riya.
Padahal
yang diajaknya bicara tampak melongo.***
Tamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar