Sabtu, 02 April 2016

Cerpen : Tetangga di samping rumah





           
Pohon mangga Arumanisnya yang tumbuh di samping rumah sudah berbuah lagi. Salah satu dahannya menjulur ke halaman rumah tetangganya. Puluhan mangga yang besar-besar dan tua bergelantungan di sana.

            Dan sudah beberapa kali bu Maulida memergoki tetangga barunya itu selalu menghitungi  mangga-mangga itu ***



            Rumah berdinding bilik itu tadinya kosong tidak terawat. Kalau malam gelap gulita karena tidak diberi penerangan. Seorang penyewa, perempuan tua berumur enam puluhan datang mengontrak disana bersama cucunya yang baru kelas dua SD.

            Bu Maulida mengenalnya. Namanya Syamsiyah, nenek yang setiap hari berjualan mangga di pasar. Kata yang empunya rumah, nek Syamsiyah boleh membayar berapa saja menyewa rumah tersebut asal dirawat.

            Nek Syamsiyah senang tinggal bertetangga dengan bu Maulida karena bu Maulida guru agama cucunya di madrasah. Kalau ada pelajaran cucunya yang ia tidak mengerti, tinggal tanya saja.

            Bu Maulida juga senang. Terutama karena rumah yang lama dibiarkan kosong oleh pemiliknya itu jadi terawat bersih dan rapih. Tidak gelap menyeramkan dan menjadi sumber gosip orang-orang penakut. Bahwa rumah tua itu sudah menjadi sarang hantu.

            Sebelum rumahnya yang sekarang, nek Syamsiyah ngontrak di belakang pasar. Nek Syamsiyah sebenarnya betah di sana karena dekat dengan pasar tempatnya berjualan. Tetapi karena harga sewanya  terus dinaikan ia terpaksa angkat kaki.

            Bu Maulida maklum. Ia melihat sendiri jualan mangga nek Syamsiyah memang tidak seberapa. Paling hanya beberapa kilo. Mangga-mangga itu dijualnya secara ketengan supaya untungnya lumayan. Kadang seribu, kadang juga seribu lima ratus perbuahnya.

            “Yang penting nenek mah ada buat jajan si Sinta sama buat biaya sekolahnya,” Kata nek Syamsiyah tidak muluk-muluk.

            Kalau bu Maulida kebetulan sedang berbelanja ke pasar mereka suka mengobrol. Terkadang bu Maulida sengaja menemui nek Syamsiyah untuk memberitahukan perkembangan pelajaran cucunya.

            Bu Maulida paham benar, tentu bukan urusan gampang bagi seorang nenek mengurus masalah sekolah cucunya. Dirinya sendiri yang seorang guru sering merasa kewalahan menghadapi kelakuan anak-anaknya sendiri.

            Suatu kali pernah bu Maulida menanyakan tentang ibu bapaknya si Sinta. Dan jawabannya sungguh mengenaskan. Ibunya si Sinta, yang adalah menantunya, lari dengan laki-laki lain. Ekonomi yang menjadi persoalannya. Si Sinta yang masih umur tiga tahun ikut dengan bapaknya.

            Tetapi sang ayah yang rupanya merasa sakit hati oleh perlakuan isterinya itu kemudian menjadi TKI ke Arab dengan harapan bisa mendapatkan uang yang banyak.

            “Lalu bapaknya si Sinta itu sering ngirimin uang buat anaknya?” Tanya bu Maulida.

            Yang ditanya menggeleng dengan mata berlinang. Karena terlibat masalah bapaknya si Sinta itu kena razia polisi Arab dan ditahan disana hingga sekarang.

            Bu Maulida merasa terenyuh. Rasa simpati itu kemudian membuat hubungan mereka jadi akrab. Kalau ketemu di pasar nek Syamsiyah suka memberinya Mangga gratis. Lebih banyak ditolak oleh bu Maulida karena dia tau benar kalau yang diberikannya itu merupakan keuntungan nek Syamsiyah.

            Tempat kedua yang membuat bu Maulida sering bertemu dengan nek Syamsiyah adalah majlis taklim. Setiap hari minggu ada pengajian ibu - ibu disana. Bu Maulidalah yang mengisi ceramahnya. Dan nek Syamsiyah hampir tidak pernah absen selalu ikut terselip diantara para jamaah.

            Nek Syamsiyah adalah jamaah yang paling ‘cerewet’. Tiap kali ada kesempatan bertanya, tangannyalah yang selalu teracung lebih dulu. Yang ditanyakannya selalu tidak jauh-jauh dari seputar cara mendidik anak agar menjadi anak yang soleh atau soleha.

            Bu Maulida mengerti sepertinya semua itu ditujukan untuk cucunya. Jadi ia memberikan salah satu solusi yang praktis. Jangan berikan makanan yang haram untuk anak kita. Karena selain membuat si anak jadi bodoh, juga malas beribadah.

            Nek Syamsiyah selalu duduk paling belakang. Ia malu duduk di depan karena pakaiannya banyak tambalannya. Berbeda dengan jamaah lainnya yang selalu berdandan mentereng.

            Supaya tidak minder dan lebih semangat bu Maulida lalu memberinya beberapa bajunya yang masih bagus. Bisa dibayangkan apa yang terjadi setelah itu.

            Hampir tiap sore nek Syamsiyah datang ke rumah bu Maulida untuk membantu pekerjaan rumahnya.

            Tertawa saja bu Maulida mengingat itu. Mungkin orang kecil lebih tau membalas budi.

            Yang jelas ia memang mengagumi semangat nenek tua itu yang di usia senjanya tetap gigih mencari napkah dan menuntut ilmu.

            Nek Syamsiyah datang menyewa rumah itu bertepatan dengan pohon Mangga Arumanis bu Maulida berbuah lebat. Sering bu Maulida melihat cucu nek Syamsiyah itu bermain-main dibawahnya.

            Anak itu sepertinya kurang asupan giji yang baik.  Badannya kurus. Tapi di sekolahnya selalu rangking satu. Bu Maulida tidak tau metode belajarnya seperti apa.

            Mungkin suatu hari nanti ia perlu mengetahuinya supaya bisa diterapkan untuk murid-muridnya yang lain.

 Satu minggu sudah nek Syamsiyah menjadi tetangga bu Maulida. Selama itu tidak tampak ada cela yang menggangu hubungan bertetangga mereka. Yang terjadi setiap hari hanyalah sebuah rutinitas.

            Pagi-pagi sehabis shalat Shubuh nek Syamsiyah sudah tergopoh-gopoh membawa keranjangnya ke pasar. Jam tujuh ia pulang dulu untuk mengurus sekolah SD cucunya. Setelah itu balik lagi ke pasar hingga waktu dhuhur tiba.

            Setiap hari selalu seperti itu. Sampai kemudian bu Maulida memergoki kelakuan nek Syamsiyah yang menyebabkan hatinya jadi kurang ‘sreg’.

            Peristiwanya bakda Isya. Habis membaca Qur’an, bu Maulida iseng menengok keluar melalui jendela. Mula-mula hanya sepi dan gelap. Namun di antara kegelapan itu ia melihat seseorang berdiri di bawah pohon mangganya. Atau lebih tepatnya di bawah dahan pohon mangga yang menjulur ke halaman rumah nek Syamsiyah.

            Karena cukup terang, jadi bu Maulida segera tahu kalau sosok itu adalah nek Syamsiyah yang baru pulang dari mushola. Dan yang dilakukan nenek tua yang masih mengenakan mukena itu adalah menghitungi buah Mangga yang bergelantungan di atasnya.

            Bu Maulida sempat berpikir untuk apa tetangganya itu melakukan hal tersebut. Tapi karena nek Syamsiyah kerjaannya adalah jualan mangga, ia segera paham. Mungkin nek Syamsiyah naksir akan mangga-mangganya.

            Waktu diceritakan kepada suaminya, suaminya juga tertawa.

            “Mungkin nek Syamsiyah mau ngeborong mangga kita, Ma.”

            “Seharusnya ia terang-terangan saja ngomong sama kita. Jangan sembunyi-sembunyi seperti itu. Nggak pantes.” Bu Maulida jadi agak ketus.

            “Sama tetangga jangan seperti itu. Ya, mungkin dia mau ngomong itu malu karena belum ada duitnya. Bisa aja kan? Justeru seharusnya mamah yang harus duluan ngomong.”

            Bu Maulida diam saja. Tapi batinnya menimbang. Mungkin memang dirinya yang harus pro aktif menawarkan.

Pohon mangga itu sebenarnya jauh-jauh hari sudah ada yang menawar-nawar. Tapi bu Maulida masih menahannya. Sebab terkadang kalau ada kerabatnya yang datang dari luar kota, mangga-mangga ini bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.

Lagi pula kesannya memang ‘kejam’ sekali. Tetangganya sendiri jualan mangga, ia justeru malah menjualnya ke orang lain yang tidak dikenalnya.

“Baiklah, mama kapan-kapan akan maen ke sana,” Kata bu Maulida.

Kata kapan-kapan itu hampir terlupakan karena kesibukan bu Maulida sendiri sebagai guru. Kalau pun ia masih teringat salah satu penyebabnya adalah nek Syamsiyah sendiri.

Perempuan itu makin rajin saja mengitungi buah-buah mangganya. Apalagi sekarang Arumanisnya sudah mulai banyak yang matang. Sebelum hal tersebut dilakukan, nek Syamsiyah biasanya akan celingukan dulu supaya tidak ada yang memergokinya.

Bu Maulida jadi sebal. Apalagi menurutnya nenek tua itu sedikit jual mahal. Kalau mereka kebetulan berpapasan atau mengobrol di pasar, nek Syamsiyah sekali pun sama sekali tidak pernah menyinggung-nyinggung soal mangganya.

Apa mungkin nek Syamsiyah sedang berpikir bahwa kelakuannya itu tidak ada yang memergoki, Kata bu Maulida dalam hati. Atau jangan-jangan nenek tua itu sedang punya rencana?

Suaminya mengusulkan agar yang sudah masak itu lebih baik cepat-cepat dipetik saja daripada nanti keduluan jatuh atau dimakan kelelawar.

“Mama kirimin deh nek Syamsiyah. Sambil omong-omong. Siapa tau dia memang ada niatan memborong mangga kita,” Suaminya setengah bercanda.

“Nanti kalau ada waktu mama kesana,” Kata Bu Maulida. ***



Waktu untuk berkunjung ke tetangga itu baru ada satu minggu kemudian. Sekitar jam limaan bu Maulida akhirnya memutuskan untuk berkunjung ke rumah nek Syamsiyah. Tidak lupa pesan suaminya untuk membagi beberapa mangganya dituruti.

 “Assalamualaikum,” Bu Maulida mengucap salam.

“Wa’alaikum salam,” Ada jawaban dari dalam rumah disusul daun pintu yang terbuat dari bilah papan itu berderit terbuka.

Nek Syamsiyah melongokan kepalanya. Ia agak terkejut waktu melihat yang ada di hadapannya adalah bu Maulida. Buru-buru ia mempersilahkannya masuk.

Sehelai tikar dihamparkan.

“Silahkan duduk, bu. Maap, rumahnya acak-acakan.” Nek Syamsiah tampak sedikit kemalu-maluan. Segelas air putih dihidangkannya. Si Sinta yang tadi terlihat sedang membaca buku menggelendot di pangkuan nek Syamsiyah setelah terlebih dulu disuruh menyalami gurunya.

“Sepertinya hari ini emak nggak dagang, ya?” Bu Maulida membuka obrolan.

“Mangganya lagi sulit, bu guru.”

“Tapi kan sekarang lagi musimnya?”

Pertanyaan itu menyebabkan nek Syamsiyah jadi sedikit bercerita soal seluk-beluk dagangnya. Bahwa tidak otomatis karena sedang musimnya, lantas mangga jadi mudah didapat olehnya.

Memang mangga berlimpah. Tapi semuanya sudah diborong oleh pedagang besar untuk di jual di kota. Biasanya nek Syamsiyah baru akan dilayani kalau ada mangga sisa itu juga yang kualitasnya rendah.

Bu Maulida iba juga mendengarnya. Tidak menyangka hanya jualan mangga sekedar untuk sesuap nasi saja si nenek tua ini harus berhadapan dengan para raksasa. Lantas ia angsurkan bungkusan plastik berisi mangga-mangganya.

“Ini buat emak. Kebetulan Arumanis saya sudah pada matang.”

Ditunggunya apakah nek syamsiyah akan mulai mengajukan tawaran. Tidak. Nek Syamsiyah menerima pemberiannya dengan ucapan terima kasih tiada henti. Sama sekali tidak ada pembicaraan soal pohon mangga bu Maulida.

Jadi bu Maulida sendiri yang mengambil inisiatif.

“Emak kan jualan mangga. Tertarik nggak sama mangga saya? Soal uangnya belakangan juga nggak apa-apa. Daripada saya jual ke orang lain? Kan lebih baik sama emak.”

Mata nek Syamsiyah berbinar. Sehingga bu Maulida menyimpulkan bahwa seperti inilah rupanya yang dikehendaki oleh tetangganya. Harus dia yang menawarinya terlebih dulu. Itu juga dengan cara utang.

Namun rangkaian kalimat yang meluncur dari mulut nek Syamsiyah sungguh di luar dugaan bu Maulida.

“Emak emang seneng ngeliat pohon mangga bu guru. Besar-besar. Apalagi yang masuk ke pekarangan rumah emak itu. Tiap malem emak hitungin terus. Yang nggak tau mah mungkin disangkanya emak mau ngeborong mangga bu guru. Padahal emak punya duit dari mana.

“Emak cuma takut mangga-mangga itu ada yang jatuh terus dimakan sama si Sinta. Berarti cucu emak itu udah makan makanan yang haram karena pohon mangga itu kan bukan punya emak. Padahal kata ibu sendiri di pengajian, daging yang tumbuh dari makanan yang haram itu bisa membuat anak bodoh dan kalau ninggal nggak akan masuk Surga. Saya takut si Sinta jadi seperti itu”.

Nek Syamsiyah terkekeh sendiri. Tak ada pretensi apa-apa dibalik apa yang sudah diungkapkannya tadi. Semacam rasa bangga atau riya.

Padahal yang diajaknya bicara tampak melongo.***

Tamat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar