Sudah
lama Kardun memendam kecewa. Dan pada suatu hari dia tidak bisa lagi memendam
kekecewaannya. Kepada merbot mesjid dia ungkapkan apa yang menjadi
unek-uneknya.
“Sebenarnya
apa sih yang menghalangi orang-orang kampung kita shalat berjamaah di mesjid?
Kenapa tiap shalat subuh yang datang semuanya selalu orang-orang miskin dan
bodoh seperti saya ini? Kemana itu yang bergelar tokoh masarakat, orang-orang
kaya, haji, atau pun ustadz?”
Si
merbot mesjid nyengir. Tidak bisa dipungkiri, apa yang diomongkan si Kardun
memang benar adanya. Di mesjidnya, tiap shalat shubuh, semua yang bergelar
tokoh, haji atau pun ustadz itu tiba-tiba menghilang. Tiba-tiba mereka begitu
betah shalat di rumahnya masing-masing dari pada berjamaah. Tetapi karena menurutnya itu bukan urusannya,
jadi dia menjawab saja secara diplomatis.
“Sudah,
jangan bersungut-sungut begitu, Dun. Bukankah dalam beribadah tidak ada
paksaan.”
Kardun
melotot.
“Paham
dari mana itu? Siapa bilang dalam beribadah tidak ada paksaan. Ibadah itu bahkan
wajib dan harus dipaksa. Titik !”
Sekarang
gantian si merbot yang bingung.
“Masak
ibadah harus dipaksa-paksa? Kamu ini ada-ada aja, Dun. Jadi tiap kali ada orang
yang ga mau ibadah harus KITA paksa terus diseret-seret? Bisa-bisa KITA
dikeroyok orang sekampung, Dun. Eling, Dun. Eling.”
Kardun
kian manyun. Menurutnya si merbot ini keterlaluan. Tiap hari kerja di ‘rumah’
Allah, tapi masih nggak paham juga apa maunya ‘Sang Pribumi’ yang menjadi
‘majikannya’ tersebut.
“Sebenarnya
yang disebut oleh kamu dengan sebutan KITA itu apa sih? Cuma kulit, daging,
tulang dan sedikit jeroan. Kita ini Cuma bangkai. Mana bisa bangkai memaksa
bangkai untuk beribadah. Jelas dong yang punya hak dan kuasa memaksa beribadah
itu hanya Allah. Allah yang maha memaksa.
“Kamu
pikir karena apa Allah sampe meniupkan ruhnya ke dalam seonggok bangkai ini?
Hanya untuk beribadah. Dan tidaklah
aku ciptakan manusia dan jin, kecuali untuk beribadah kepadaku. Kalau
kamu sampe tidak merasakan firman Allah tersebut sebagai suatu paksaan, kamu
harus benerin lagi tauhid kamu. Tidak ada yang paling nikmat di dunia ini
kecuali ketika kita bisa merasakan Allah sedang memaksa kita untuk beribadah
kepada-Nya. Paham?”
Si
merbot kian bingung karena tidak mengerti.
“Dimana
enaknya kalau ibadah harus dengan perasaan terpaksa? Katanya ibadah harus
ikhlas.”
“Hei,
manusia, kalau kita sudah bisa merasakan paksaan dari Allah, maka tidak ada
lagi keterpaksaan karena kita sudah Esa dengan Allah. Paksaan dari Allah itu
tidak sama seperti manusia memaksa manusia. Sebab Allah itu laisa kamitslihi
syai’un. Tidak serupa dengan apa pun. Kita ini lebih bisa merasakan paksaan
dari hawa napsu Dari pada paksaan dari Tuhan. Ah, sudahlah. Mau Nyuruh shalat
subuh aja sampe ribet begini.”
Kardun ngibrit sebelum
si merbot bertanya lagi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar