Sabtu, 02 April 2016

Cerpen memimpikan nabi




Laki-laki itu datang menemui kyai Soleh minggu sore di bulan Mulud. Kepalanya botak, badannya kurus kering dan penuh oleh bekas tato.
 “Kenalin, abah.Nama gue Ardan. Gue baru bebas dari penjara. Sekarang gue mau tobat. Tapi sebelum tobat gue ingin mimpi ketemu sama nabi dulu. Gue denger katanya abah ini orang sakti. Jadi abah pasti bisa ngabulin permintaan gue.”
Termangu kyai Soleh.
Dunia rupanya kian aneh. Seorang bergajul pun masih sempat-sempatnya punya keinginan untuk bertemu dengan kangjeng nabi. Untuk maksud apakah Tuhan mengirimkan laki-laki ini kepadanya?
 “Kenapa ujang ingin mimpi ketemu sama nabi? Dan nabi siapa yang ingin ujang mimpikan? Nabi itu banyak, jang.Bukan hanya satu.” Kata kyai Soleh.
“Jelas yang gue maksud nabi Muhammad. Masa nabi Adam. Tapi soal kenapa gue ingin mimpi ketemu nabi itu urusan gue. Tugas abah adalah ngebantu gue.”
Kyai Soleh mengurut dada. Percuma bicara banyak dengan laki-laki ini.
“Baiklah, jang. Abah akan membantu sebisa abah. Tapi berhasil tidaknya gusti Allah yang menentukan. Abah hanya bisa ngasih jalannya.”
“Gimana jalannya, bah?”
“Banyak-banyaklah membaca shalawat setiap malam.”
“Cuma gitu aja, bah.”
“Iya.”
“Sambil puasa?”
“Kalau mau puasa senen-kemis.”
“Nggak mutih atau mati geni?”
“Nggak.”
Ardan melongo. Tadinya ia mengira karena yang mau dimimpikannya nabi, pasti syaratnya berat. Ternyata sangat gampang.
Ardan lalu menyanggupi dan mengatakan malam ini juga akan langsung melaksanakan petunjuk abah Soleh.
Kyai Soleh mengangguk dan memberinya tempat di langgar tempat dirinya biasa shalat berjamaah dan mengajar ngaji anak-anak.
          Dengan berbekal seuntai tasbih, Ardan memulai perjuangannya. Ia menargetkan dalam satu malam harus sanggup membaca shalawat sebanyak seribu kali.
          Ardan sebenarnya jago begadang. Kalau sedang main kartu matanya sanggup melotot sampai pagi. Namun hal itu ternyata tidak berlaku ketika diajak wiridan. Baru juga beberapa puluh menit Ardan duduk bersila, kantuk yang luar biasa sudah menyergap matanya.
          Sekuat daya Ardan berusaha menahannya walau untuk itu dia harus bolak-balik cuci muka ke sumur. Bacaan shalawat sebanyak seribu kali itu diselesaikannya dalam waktu hampir dua jam.
          Ketika selesai Ardan benar-benar lega. Dia langsung menggelosoh tidur di pojok Langgar. Malam itu Ardan tidak mimpi apa-apa.
          Ardan masih bersikap tenang.
          Malam kedua wiridnya diulang lagi. Dicobanya lebih khusyu. Kali ini ada kemajuannya. Matanya kuat diajak melotot hingga wiridnya selesai.
          Begitu beres, Ardan langsung tidur. Kali ini dia mulai berharap.  Mudah-mudahan nabi datang dalam mimpinya. Tapi malam itu pun sama saja. Ardan tak mimpi apa pun.
          Ardan masih sabar. Mungkin Tuhan sedang mengujinya. Bukankah setiap cita-cita ada rintangannya?
          Jadi pada malam ketiga semangat Ardan masih belum kendur. Bedanya, kali ini hatinya mulai dipenuhi harap. Akankah kangjeng nabi datang dalam mimpinya? Bagaimana kalau nabi masih ogah juga? Sia-sia saja pengorbanannya setiap malam begadang. Lalu guru mana lagi yang harus dia cari? Ah, tapi siapa tahu kyai Soleh masih memiliki ilmu pamungkas.
          Ardan wiridan dengan hati dipenuhi keraguan dan pertanyaan. Hatinya tidak lagi fokus kepada apa yang dibacanya. Tahu-tahu selesai saja.
          Seperti yang sudah-sudah. Ardan memilih langsung memejamkan mata. Dan harapannya terkabul. Karena hatinya digoyang keraguan, malam itu berlalu tanpa impian secuil pun.
          Hati Ardan langsung pecah. Kenapa usahanya ini berujung nihil? Mulutnya sampai berbusa membaca ribuan shalawat. Tapi kemana nabi yang sedang diburunya itu?
Sepertinya kyai Soleh sudah mengerjainya. Akan dia satroni tua bangka sialan itu.
Kyai Soleh kebetulan sedang ada di rumah waktu Ardan datang. Ardan langsung menyemprotnya.
“Gue udah cape-cape wirid, bah. Udah ribuan shalawat yang gue baca. Tapi kenapa nabi nggak dateng-dateng juga? Abah pasti udah ngebohongin gue. Kalo abah nggak becus bilang aja. Gue kan bisa nyari ustad laen.”
Dimarahi seperti itu kyai Soleh tetap tenang.
“Sabar, jang Ardan. Kan baru juga tiga hari..”
“Alah, gue nggak percaya. Emangnya perlu berapa hari lagi, bah?!”
“Terus abah harus gimana?”
“Abah harus serius ngebantu gue. Gue minta ilmu rahasia abah.”
Geli kyai Soleh mendengar omongan Ardan soal ilmu rahasia.
“Abah nggak punya ilmu rahasia apa-apa, Jang. Abah bisanya cuma baca Qur’an sama ngajar ngaji.”
Aah, abah pasti bohong. Inget, Bah. Dosa kalo punya ilmu nggak diamalin.”
Makin geli kyai Soleh mendengarnya. 
“Baiklah, Jang, kalau maumu begitu. Abah akan memberikan ilmu rahasia itu. Tapi sebelum ilmu itu abah turunkan, jang Ardan harus terbuka dulu. Sebab apa jang Ardan ingin mimpi ketemu sama kanjeng Nabi? Ingat, segala sesuatu itu harus ada alasannya, kalau alasannya ternyata hanya main-main, maka abah tidak akan mau membantumu. Bisa-bisa abah juga ikut kebagian dosanya.”
Mulut Ardan mengunci rapat. Pikirannya keras menimbang. Banyak sudah kyai atau ustad yang ditemuinya. Tapi mereka semua langsung mengusirnya begitu dia menceritakan sabab musababnya, kenapa dirinya ingin bisa memimpikan Nabi. Sekarang kyai Soleh menuntut hal yang sama. Akankah nasib jeleknya terulang lagi?
Ardan memutuskan akan terbuka saja kepada kyai Soleh. Setelah itu, kalau  ternyata nasib yang dialaminya kembali sama, dia akan menyerah saja. Mungkin memang bajingan seperti dirinya tidak pantas untuk bertobat.
“Gue udah ngebunuh ibu gue sendiri, Bah.”***

Selain hobi main judi, Ardan juga seorang pemabok ulung. Suatu saat, dalam keadaan mabok berat, dia meminta duit kepada ibunya untuk modal berjudi. Sang ibu yang hidup dalam kemelaratan, kebetulan sedang tidak memiliki uang sepeserpun. Tapi penjelasannya tidak diterima Ardan.
Ardan mengamuk. Menyerang ibunya  hingga sang ibu meninggal.
“Dosa gue terlalu besar, Bah. Gue baru yakin tobat gue diterima gusti Allah kalau udah bisa mimpi ketemu sama Nabi. Sebab, katanya kalau udah bisa mimpiin Nabi, minta apapun akan dikabulin.”
Berubah merah wajah kyai Soleh mendengar cerita Ardan. Hatinya bergolak. Setan atau manusiakah yang ada di hadapannya? Ingin ia mengusirnya detik ini juga. Tapi hatinya segera beristighfar. Sekotor apapun manusia, manakala dia sudah berniat untuk taubat, maka wajib untuk dibantunya.
“Jang Ardan, ini bantuan abah yang terakhir, Kalau ternyata ujang masih belum bisa juga memimpikan kanjeng Nabi, ya abah nyerah dan ujang harus bisa menerimanya. Pasti ada hikmah di balik itu semua. Tunggu sebentar.”
Kyai Soleh masuk dulu ke dapur. Keluar lagi membawa sebuah bungkusan yang langsung diberikannya kepada Ardan.
“Nanti malam, selesai wiridan, jang Ardan harus menghabiskan semua makanan ini. Tapi ingat, apapun yang terjadi jang Ardan tidak boleh minum walau seteguk pun. Atau jang Ardan akan gagal.”
Ardan gembira karena ternyata kyai Soleh tidak mengusirnya. Jadi permintaan kyai Soleh itu tanpa banyak cakap langsung disanggupinya.
Tadinya Ardan mengira bahwa apa yang ada dalam bungkusan itu sesuatu yang istimewa. Semacam jimat atau benda bertuah. Sama sekali tidak disangka kalau isi bungkusan itu ternyata hanya setumpuk ikan asin matang.
Ardan termangu. Buat apa kyai Soleh memberinya ikan asin? Rasanya tidak masuk akal. Mana mungkin Nabi akan menemuinya gara-gara dirinya memakan ikan asin? Kyai Soleh sepertinya sudah linglung. Tapi setelah dipikir secara mendalam, Ardan menyimpulkan tidak mungkin kyai Soleh mempermainkannya. Ikan asin ini pastilah ikan asin yang sudah dijampi-jampi.
Ardan jadi semangat lagi. Maka, tanpa pikir panjang onggokan ikan asin itu langsung disikatnya. Asin memang. Tapi ditahannya. Ardan benar-benar ingin bisa mimpi ketemu sama Nabi malam ini juga.
Ardan tidak mengetahui kalau ikan asin membuat orang gampang kehausan. Dan itulah yang terjadi. Tandas ikan asin itu dilahapnya, tenggorokannya langsung serasa tercekik. Perutnya panas. Rasa haus yang amat sangat menyerangnya.
Ardan ingin minum. Namun ia teringat akan petuah kyai Soleh supaya apapun yang terjadi, dirinya tidak boleh minum. Atau kanjeng Nabi tidak akan menemuinya.
Maka rasa haus itu sekuat daya ditahannya. Namun makin lama, daripada berkurang,  rasa haus itu malah makin menjadi. Sekujur badannya basah oleh keringat yang makin membanjir.
Akhirnya Ardan tidak lagi berpikir soal Nabi. Dia ingin minum. Bagaimanapun caranya dia harus menemukan air. Ditujunya pintu. Ternyata sudah terkunci. Entah ada di mana kuncinya? Jangan-jangan kyai Soleh sendiri yang sudah mengunci dirinya. Ardan mencoba berteriak. Tak ada suara yang keluar. Kecuali erangan serak saja.
Digedornya pintu mushola. Hanya sepi. Menyadari usahanya sia-sia, Ardan pasrah. Tubuhnya menggeletak tanpa daya. Perlahan sepasang matanya menutup. Entah tidur entah pingsan. Yang jelas kesadaran Ardan lenyap. 
Malam yang merayap menjadi saksi dari seorang laki-laki yang gelisah mencari Nabi-nya. Dalam ketiadaan daya seperti itulah Ardan tiba-tiba bermimpi. Seorang laki-laki tua bercahaya muncul. Sambil tersenyum teduh, laki-laki itu menyodorkan segelas air kepada Ardan. Ardan menerima dan langsung meminumnya.
Habis air itu diminum, terjaga pula Ardan dari tidurnya. Ajaib, rasa haus yang tadi menderanya sekarang lenyap. Benar-benar sirna. Tubuhnya terasa segar. Rasa sejuk air itu bahkan masih terasa seakan yang dialaminya adalah pengalaman nyata, bukan di alam mimpi.
Ardan termangu memikirkannya. 
Subuh pun menjelang.
Diam-diam, untuk pertama kali semenjak dirinya menjadi tamu kyai Soleh, Ardan ikut berjamaah shalat Subuh. Ditunggunya hingga kyai Soleh menyelesaikan wiridannya. 
Kyai Soleh terkejut mengetahui keberadaannya.
“Ada apa, nak Ardan?”
“Saya sudah menjalankan perintah abah. Saya habiskan semua ikan asin itu."
“Lalu?”
“Saya kira abah tau, ikan asin akan membuat orang gampang kehausan. Saya pun begitu. Rasanya saya hampir mati, Abah. Tapi saya tahan hingga akhirnya saya tertidur. Dalam tidur itulah saya bermimpi.”
“Ketemu sama kanjeng Nabi?”
“Bukan, bukan kanjeng Nabi yang datang dalam mimpi saya. Melainkan abah. Dalam mimpi itu, abah memberikan segelas air pada saya. Aneh, begitu air itu saya minum ternyata haus langsung hilang. Kenapa bisa begitu, Abah? Kenapa malah abah yang datang ke dalam mimpi saya? Kenapa bukan kanjeng Nabi?” 
Kyai Soleh merenung sesaat.
“Seperti itulah yang terjadi, nak Ardan. Kalau rasa cintamu kepada kanjeng Nabi sama seperti rasa cintamu kepada segelas air itu, maka kamu pasti akan bisa memimpikan beliau.”
“Banyak orang yang ingin bisa memimpikan kanjeng Nabi yang agung itu. Namun sayangnya kita tidak punya rasa cinta yang cukup kepada beliau. Kita lebih mencintai dunia daripada kanjeng Nabi. Maka mana mungkin seorang kekasih akan datang kepada orang yang tidak mencintainya. Mustahil, bukan? Jadi saran abah, nak Ardan, kalau kamu ingin bertobat, bertobat sajalah. Allah pasti menerima taubatmu meskipun kamu tidak bisa memimpikan Nabi.”
Ardan  tercenung. Perkataan kyai Soleh seperti tetes embun sejuk yang meresap ke dalam jiwanya. Menghijaukan kembali ‘padang’ yang gersang itu. *** Di muat di majalah Annida.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar