Minggu, 06 Maret 2016

Bengkel fiksi



CERPEN :
benarkah hanya fiksi angan-angan?

Seperti apa definisi kita terhadap sebuah karya tulis yang bernama cerpen? Cukupkah sebatas cerita pendek yang bisa dibaca dalam sekali duduk? Bisa ya, bisa juga tidak.
            Kata pendek itu sendiri dalam dunia cerpen tidaklah sama. Cerpen Indonesia rata-rata panjangnya antara 6 sampai 10 halaman. Ini pun sudah termasuk lumayan panjang untuk ukuran majalah kita. Padahal menurut Ajip Rosidi cerita pendek Indonesia termasuk cerita yang sangat-sangat pendek bila dibandingkan dengan majalah-majalah barat yang ukuran halamannya tebal dan lebar.
            Cerpen meski pun bersipat cerita rekaan atau khayalan tetapi ia harus berdasarkan kenyataan hidup. Bahwa cerita yang disuguhkan di dalamnya dapat saja terjadi seperti itu. Jadi agak kurang tepat anggapan sebagian orang bahwa membaca fiksi sama dengan membiarkan diri ditipu mentah-mentah oleh penulisnya.
            Kebenaran bukan hanya lahir melalui filsafat dan ilmu yang menggunakan daya pikir semata. Namun juga lewat sastra. Itu sebabnya cerpen-cerpen yang baik biasanya dibuat melalui penghayatan terhadap suatu pengalaman. Baik itu pribadi mau pun orang lain.
            Maka menurut saya, sebuah cerpen tidak bisa dikatakan murni, 100% khayalan. Banyak karya fiksi yang mengandung nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Contohnya adalah cerpen Robohnya Surau Kami, karya A.A. Navis. Kita bisa melihat perwatakan setiap tokoh di dalamnya yang ditampilkan secara tajam. Seolah kita sedang mengalami kehidupan yang sebenarnya.
Salam fiksi ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar