CERPEN :
benarkah hanya fiksi angan-angan?
Seperti apa definisi kita terhadap
sebuah karya tulis yang bernama cerpen? Cukupkah sebatas cerita pendek yang
bisa dibaca dalam sekali duduk? Bisa ya, bisa juga tidak.
Kata
pendek itu sendiri dalam dunia cerpen tidaklah sama. Cerpen Indonesia rata-rata
panjangnya antara 6 sampai 10 halaman. Ini pun sudah termasuk lumayan panjang
untuk ukuran majalah kita. Padahal menurut Ajip Rosidi cerita pendek Indonesia
termasuk cerita yang sangat-sangat pendek bila dibandingkan dengan
majalah-majalah barat yang ukuran halamannya tebal dan lebar.
Cerpen
meski pun bersipat cerita rekaan atau khayalan tetapi ia harus berdasarkan
kenyataan hidup. Bahwa cerita yang disuguhkan di dalamnya dapat saja terjadi
seperti itu. Jadi agak kurang tepat anggapan sebagian orang bahwa membaca fiksi
sama dengan membiarkan diri ditipu mentah-mentah oleh penulisnya.
Kebenaran
bukan hanya lahir melalui filsafat dan ilmu yang menggunakan daya pikir semata.
Namun juga lewat sastra. Itu sebabnya cerpen-cerpen yang baik biasanya dibuat
melalui penghayatan terhadap suatu pengalaman. Baik itu pribadi mau pun orang
lain.
Maka
menurut saya, sebuah cerpen tidak bisa dikatakan murni, 100% khayalan. Banyak
karya fiksi yang mengandung nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Contohnya adalah
cerpen Robohnya Surau Kami, karya A.A. Navis. Kita bisa melihat perwatakan
setiap tokoh di dalamnya yang ditampilkan secara tajam. Seolah kita sedang
mengalami kehidupan yang sebenarnya.
Salam fiksi ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar